Kamis, 25 Maret 2010

sholat dhuha & law of attraction

Shalat Dhuha, Nasibmu Kini....

Ilmuwan Fisika Quantum telah membuat rumusan Hukum Tarik-Menarik (The Law of Attraction). Salah satu ringkasan rahasia Hukum Tarik-Menarik adalah “Untuk menarik uang, berfokuslah pada kekayaan.”

Mario Teguh menasihatkan, “Hukum Tarik-Menarik berkata bahwa kalau kita fokus pada kekayaan, maka semesta akan menarik kekayaan untuk kita. Kalau kita selalu berpikir hal-hal baik, maka kebaikanlah yang akan diwujudkan untuk kita. Oleh karena itu, berpikir dan fokuslah untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dengan cara-cara yang tetap dalam kebaikan.”

Sekarang mari kita perhatikan lagi ajaran agama kita. Sebelum ilmuwan, motivator dan konsultan berpesan seperti tersebut di atas, bukankah doa ketika selesai shalat Dhuha sudah mengajarkan kita untuk berpikir dan bersikap seperti itu? Coba kita telaah lagi doa setelah shalat Dhuha sebagai berikut :

اللَّهُمَّ إِنَّ الضُّحَاءَ ضُحَاؤُكَ وَالْبَهَاءَ بَهَاؤُكَ وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ. اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ رِزْقِيْ فىِ السَّمَاءِ فَأَنْزِلْهُ، وَإِنْ كَانَ فىِ اْلأَرْضِ فَأَخْرِجْهُ، وَإِنْ كَانَ مُعْسِـرًا فَيَسِّـرْهُ، وَإِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ، وَإِنْ كَانَ بَعِيْدًا فَقَرِّبْهُ، بِحَقِّ ضُحَائِكَ وَبَهَائِكَ وَجَمَالِكَ وَقُوَّتِكَ وَقُدْرَتِكَ وَعِصْمَتِكَ، آتِنِيْ مَا أَتَيْتَ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ.

رَبَّنَاۤ ءَاتِنَا فىِ ٱلدُّنْياَ حَسَـنَةً وَفىِ ٱْلآخِرَةِ حَسَـنَةً وَقِنَا عَـذَابَ ٱلنَّارِ. وَصَلَّى اللهُ عَلىَ سَـيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. سُبْحٰنَ رَبِّكَ رَبِّ ٱلْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ. وَسَلاَمٌ عَلَى ٱلْمُرْسَلِيْنَ. وَٱلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعٰٰـلَمِيْنَ

Ya Allah, sesungguhnya waktu dhuha itu waktu-Mu; cahaya cemerlang, keindahan, kekuatan, kekuasaan dan penjagaan, semua itu adalah hak yang ada pada-Mu. Ya Allah, bilamana rejeki hamba masih di langit maka turunkanlah, apabila masih berada di dalam bumi maka keluarkanlah, jika susah mencapainya maka mudahkanlah, bila ada yang haram maka sucikanlah dan jika masih jauh maka dekatkanlah; dengan hak-Mu atas waktu dhuha, cahaya cemerlang, keindahan, kekuatan, kekuasaan dan penjagaan-Mu; anugerahkanlah kepada hamba seperti yang telah Engkau anugerahkan kepada hamba-hamba-Mu yang shaleh.

Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka. Semoga shalawat/rahmat dan kasih sayang tercurah kepada junjungan kami Nabi Muhammad saw. beserta keluarga dan sahabat beliau. Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam, amin.

Sungguh, agama kita telah mengajarkan semua hal, jauh sebelum para ilmuwan, konsultan dan motivator mengatakannya. Dengan anjuran agama untuk shalat Dhuha, serta bukti ilmiah dan logis yang ada, apakah kita masih mengabaikan shalat Dhuha? Apakah kita masih menganggapnya tidak perlu dan tidak penting? Apakah kita masih didera rasa malas untuk melaksanakannya?

Sebagai catatan, perlu diingat bahwa kita tidak boleh shalat Dhuha dengan niat agar mendapatkan banyak rejeki. Shalat Dhuha tetap diniatkan untuk beribadah, mengabdi kepada-Nya, sesuai anjuran Rasulullah saw. Doa setelah shalat itulah yang kita niatkan untuk memohon kelancaran rejeki yang halal, berlimpah dan barakah. Selain uang dan perhiasan, rejeki juga bisa berarti kesehatan, keluarga SAMARA (sakinah, mawaddah wa rahmah), nilai bagus dan sebagainya.

Kapan waktu pelaksanaan shalat Dhuha bisa dimulai? Shalat Dhuha bisa dikerjakan setelah matahari terbit setinggi galah. Apabila diukur dalam satuan menit, kira-kira 25 (dua puluh lima) menit setelah matahari terbit. Saat ini sudah banyak dicetak pedoman shalat untuk waktu abadi dan kalender yang mencantumkan waktu-waktu shalat, imsak, terbit matahari dan Dhuha.

Dari penjelasan di atas, berarti shalat Dhuha bisa dilaksanakan sebelum kita berangkat ke kantor, sekolah atau kuliah. Namun, jika kita berangkat ke kantor pagi-pagi benar—sebelum waktu Dhuha—karena jarak yang cukup jauh atau waktu tempuh yang lama, maka shalat Dhuha bisa dilakukan di kantor, sebelum jam kerja. Bagi para pelajar dan mahasiswa, shalat Dhuha dapat dilakukan pada jam istirahat.

Mungkin ada di antara kita yang berkata, “Kalau saya shalat Dhuha di sekolah, kampus atau kantor, saya kuatir akan timbul sifat riya’. Saya takut dipuji teman-teman dan akhirnya ibadah saya karena mereka, bukan karena Allah. Nanti kan saya tidak mendapat apa pun. Saya juga kuatir dikatakan sok alim, padahal saya kan bukan orang alim. Saya bukan ustadz, apalagi kyai. Saya pun belum menunaikan ibadah haji. Cukup melaksanakan shalat fardhu sajalah.”

Itulah salah satu cara setan untuk mencegah kita melaksanakan ibadah. Setan memang punya berjuta jurus untuk menaklukkan kita. Salah satunya yaitu membisiki kita bahwa kalau kita melaksanakan ibadah yang tidak dilaksanakan orang lain, maka kita akan mudah terjangkit penyakit hati berupa riya’ dan ‘ujub. Kalau kita malah tidak shalat Dhuha karena takut riya’ dan ‘ujub, berarti setan telah berhasil, dan kita kalah dibuatnya. Solusinya adalah tetaplah menjalankan shalat Dhuha, sambil menata hati dan memohon kepada Allah agar menjaga kita dari godaan setan.

Imam Al-Fudhail bin Iyadh menuturkan, “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’ dan berbuat amal karena manusia adalah syirik. Ikhlas adalah pembebasan Allah dari keduanya.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberi nasihat, “Iyyâka na‘budu menolak penyakit riya’, sedangkan iyyâka nasta‘în menolak penyakit ‘ujub dan takabur.”

Shalat Dhuha tidak ada hubungannya dengan sebutan Ustadz, Kyai, Ajengan, Buya, Tuan Guru, Syaikh, Ulama atau yang lain. Shalat itu antara kita dengan Allah. Shalat Dhuha dianjurkan oleh Nabi tercinta, Muhammad saw. Kita shalat bukan untuk mendapat julukan “orang alim”. Kita shalat semata-mata karena-Nya. Kalau omongan teman membuat kita tidak shalat, justru itu menunjukkan bahwa kita shalat karena mereka (riya’). Kita rajin shalat karena pujian, dan tidak shalat karena cemoohan. Apakah diri kita memang seperti itu? Tentu tidak, kan? Bukankah kita telah berikrar bahwa shalat, ibadah, hidup dan mati kita hanya untuk Allah? Dan jika memang kita beralasan malu untuk shalat di sekolah, kampus atau kantor; apakah ketika libur, kita selalu shalat Dhuha di rumah?

Dzun Nun al-Mishri berfatwa bahwa kerusakan masuk pada diri manusia melalui enam perkara, yaitu :

* Lemahnya niat untuk berbuat amal akhirat.

* Badan yang dijadikan jaminan untuk nafsu.

* Angan-angan panjang menguasai diri, padahal ajal sangat dekat.

* Lebih mengutamakan keridhaan makhluk daripada keridhaan Allah.

* Mengikuti kemauan hawa nafsu dan meninggalkan sunnah Nabi dengan diletakkan di belakang punggung.

*Menjadikan ketergelinciran lidah sebagai argumen membela diri dan pada sisi lain mengubur sebagian besar perilaku.

Bisa jadi ada alibi lain yang kita ungkapkan, “Wah, saya sibuk sekali, mana sempat shalat Dhuha… Saya seorang profesional dan aktif di berbagai organisasi. Selain itu saya sering ke luar kota. Bisa dimaklumilah kalau saya sangat jarang shalat Dhuha.”

Seandainya saja setelah shalat Dhuha, untuk setiap rakaat yang kita kerjakan, Allah langsung menghadiahi kita uang tunai Rp 100 juta, apakah kita masih mengatakan tidak sempat?

Kalau kita mau bersabar menunggu cairnya tabungan pensiun, mengapa kita tidak mau sedikit bersabar lagi menunggu cairnya tabungan akhirat? Bukahkah jarak antara kita pensiun dari kerja (usia 55 tahun) dan pensiun dari kehidupan ini tidak lama, rata-rata sekitar 10-15 tahun saja?

Barangkali kita akan mengemukakan argumentasi lain, “Sebenarnya saya ingin sekali shalat Dhuha. Tapi, gimana ya? Ya…, begitulah, tahu sendirilah bagaimana kondisi saya. Sejujurnya, sedih juga tidak bisa melaksanakannya.”

Menjawab alasan kita tersebut, marilah kita perhatikan pesan Syaikh Ibnu Athaillah berikut ini :


الْحُزْنُ عَلَى فُقْدَانِ الطَّاعَةِ مَعَ عَدَمِ النُّهُوْضِ إِلَيْهَا مِنْ عَلاَمَاتِ اْلإِغْتِرَارِ

Sangat sedih karena tidak dapat menjalankan ketaatan kepada Allah, akan tetapi merasa malas melakukannya adalah tanda ia terperdaya oleh setan.

Kesedihan seperti ini adalah kesedihan palsu. Kita merasa sedih tetapi kita malas. Kita merasa rugi tetapi kita tinggalkan. Kita merasa tertinggal tetapi kita tidak mengejarnya. Kita ingin bangkit berdiri tetapi kita berada dalam mimpi pulas dan terbuai pula.

Andaikata kesedihan kita sampai menangis mencucurkan air mata diiringi penyesalan, akan tetapi tidak dengan usaha untuk mencapai apa yang menjadi kewajiban kita sebagai hamba Allah, maka tangis dan penyesalan itu akan tinggal penyesalan belaka. Kita seharusnya berusaha untuk mencari kesempatan atau mempergunakan kesempatan, bukan dibelenggu oleh rasa senang mengikuti panggilan hawa nafsu.

Tentang anjuran shalat Dhuha, Sahabat Abdurrahman bin Shakhr ra. atau yang lebih kita kenal dengan panggilan Abu Hurairah ra. telah menceritakan hadits berikut ini :


أَوْصَانِيْ خَلِيْلِي بِثَلاَثٍ، لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوْتُ : صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَصَلاَةِ الضُّحٰى وَنَوْمِ عَلَى وِتْرٍ

Aku telah dipesan oleh junjunganku (Nabi Muhammad saw.) tiga hal supaya tidak aku tinggalkan sampai mati, yaitu puasa pada tiap bulan selama tiga hari, shalat Dhuha dan tidur setelah shalat Witir.
(HR Bukhari dan Muslim)

Yang dimaksud puasa tiga hari setiap bulan yaitu tanggal 13, 14 dan 15 bulan Qamariah. Puasa ini disebut puasa hari terang atau hari putih (yawm al-bîdh). Sedangkan tidur setelah shalat Witir maksudnya tidak tidur sebelum melakukan shalat Witir.

Jumlah rakaat shalat Dhuha minimal 2 (dua) rakaat, dan maksimal 8 (delapan) rakaat menurut jumhur ulama—dengan empat kali salam (satu shalat 2 rakaat). Adapun surah yang dibaca, untuk rakaat pertama QS as-Syams [91] dan rakaat kedua QS adh-Dhuhâ [93]. Bila shalat Dhuha lebih dari sekali, maka untuk shalat berikutnya, pada rakaat pertama membaca QS al-Kâfirûn [109], sedangkan QS al-Ikhlâsh [112] dibaca pada rakaat kedua. Bila ingin membaca surah yang lain juga diperbolehkan.

Begitu indah dan hebatnya waktu Dhuha, Allah bahkan pernah bersumpah atasnya.

وَالضُّحٰى

Demi adh-Dhuha (waktu matahari sepenggalahan naik).
(QS adh-Dhuhâ [93] : 1)

Adh-Dhuha dipilih berkaitan dengan wahyu-wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. Ketika matahari naik sepenggalahan, cahayanya memancar menerangi seluruh penjuru. Cahayanya tidak terlalu terik sehingga tidak menyebabkan gangguan sedikit pun. Bahkan, panasnya memberikan kesegaran, kenyamanan dan kesehatan. Dengannya, Allah melambangkan kehadiran wahyu sebagai kehadiran cahaya matahari yang sinarnya demikian jelas, menyegarkan dan menyenangkan.

Nabi saw. menganjurkan agar pada pagi hari kita bersedekah sebanyak bilangan seluruh anggota tubuh sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah atas semua nikmat yang telah dilimpahkan oleh-Nya, termasuk nikmat hidup setelah mengalami tidur yang mirip dengan mati—bahkan bisa dikategorikan saudaranya. Dua rakaat shalat Dhuha bisa mencukupi semua sedekah tersebut.

Sahabat Abu Dzar ra. berkata bahwa Nabi saw. pernah bersabda,


يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمٰى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْـبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذٰلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحٰى

“Pada (tiap) pagi hari setiap persendian dari seseorang di antara kalian ada sedekahnya; setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, amar ma‘ruf adalah sedekah dan nahi munkar adalah sedekah pula. Tetapi dapat mencukupi semuanya yaitu dua rakaat yang dilakukan oleh seseorang dalam shalat Dhuha.” (HR Muslim, Abu Daud dan Ahmad)

Sebagai penutup, masih adakah alasan yang akan kita kemukakan sebagai pembenar kita malas melaksanakan shalat Dhuha?

Daftar Pustaka :

*
Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
*
Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
*
Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
*
M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007


http://achmadfaisol.blogspot.com/2009/06/shalat-dhuha-nasibmu-kini-2-of-2.html



Membudayakan Shalat Dhuha ('Awwabin)

Jin dan manusia sebagaimana yang diwartakan dalam Alquran, merupakan dua makhluk ciptaan Allah yang mengemban tugas sebagai hamba. Keduanya diperintahkan untuk beribadah kepada-Nya. Di samping manusia memiliki nilai plus sebagai khalifah di muka bumi. Sejatinya, ibadah merupakan tugas dasar bagi manusia. Maka tidak heran kalau dalam Alquran banyak kata jadian dari kata `abada-ya`budu, seperti 'u`bud, 'u`budu, `ibadurrahman, `ibadi al-shalihun, dan sebagainya. Ibadah yang kita kenal saat ini adalah ibadah yang rutin kita lakukan, karena ia merupakan fardh `ain, seperti shalat lima waktu (al-shalawat al-maktubah) dan shalat Jumat. Kemudian shalat lima waktu tersebut diiringi dengan shalat sunnah rawatib. Selain shalat rawatib ada juga shalat-shalat sunnah yang lain, seperti Tahiyyah al-masjid, Witir, Tahajjud dan Dhuha.

Tulisan sederhana ini mencoba untuk mengulas seputar shalat Dhuha dan keutamannya.
Shalat Dhuha merupakan shalat yang banyak mengandung fadhilah (keutamaan), namun tidak banyak mendapat perhatian dari kita selaku Mukmin. Karena ia berada dalam waktu yang di dalamnya banyak kesibukan. Orang banyak yang bekerja mencari rezki. Bagi pelajar mereka sibuk menuntut ilmu, begitu juga dengan yang memiliki kesibukan lainnnya. Oleh karenanya ia tidak begitu mendapat perhatian yang serius dan sering terlupakan.

Kapan shalat Dhuha dilakukan?
Waktunya ketika matahari mulai naik sepenggalah (agak miring). Dan waktu yang paling afdhal adalah ketika mulai panas. Hal ini dijelaskan di dalam sebuah hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim; "Shalatu al-'awwabin hina tarmudhu al-fishal" (Waktu mengerjakan shalat 'awwan (dhuha) adalah ketika hari panas).

Imam Muslim meriwayatkan dari Zaid bin Arqam bahwa ia berkata: "Rasulullah saw keluar menuju penduduk Quba' ketika mereka akan mengerjakan shalat. Lalu beliau berkata: "Shalat 'awwabin ketika hari mulai panas".

Imam al-Nawawi di dalam kitab al-Majmu berkata: "Waktunya ketika matahari meninggi (condong). Sebagian ulama lagi mengatakan bahwa waktu yang paling afdhal adalah ketika matahari meninggi dan panasnya mulai terik.

Jumlah rakaatnya minimal dua rakaat, dan paling afdhal adalah delapan rakaat. Abu Hurairah ra. berkata;" Kekasihku Rasulullah saw berwasiat kepadaku dengan tiga perkara, puasa selama tiga hari setiap bulannya, dua rakaat shalat Dhuha dan mengerjakan shalat witir sebelum aku tidur" (Muttafaq `Alaihi). Dalam hadits Qudsiy disebutkan empat rakaat (akan dijelaskan di dalam tulisan).

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa jumlahnya delapan rakaat. Jumlah ini disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummu Hani' ra bahwa Rasulullah saw shalat di dalam rumahnya (Ummu Hani') pada tahun pembebasan Makkah sebanyak delapan rakaat. Namun dalam hadits lain disebutkan bahwa jumlah rakaatnya tidak terbatas, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari `Aisyah ra. Ia berkata: "Rasulullah saw shalat Dhuha sebanyak empat rakaat lalu menambahnya seberapa yang dikehendakinya".

Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa hadits-hadits tersebut seluruhnya disepakati kesahihannya dan tidak ada perselisihan di dalamnya menurut para muhaqqiq (ahl al-tahqiq) . Dan kesimpulannya, menurut beliau, shalat Dhuha adalah sunnah mu'akkadah. Minimal adalah dua rakaat, dan paling sempurna adalah delapan rakaat. Dan diantaranya empat atau enam, keduanya (empat atau enam rakaat) adalah lebih sempurna dari dua rakaat dan kesempurnaannya berada di bawah delapan rakaat (Muslim Syarh al-Nawawi: 5: 322).

Keutamaan shalat Dhuha
Banyak hadits Rasulullah saw yang bercerita tentang keutamaan shalat Dhuha, diantaranya;

Pertama, shalat Dhuha diganjar sebagai sedekah bagi seluruh persendian tubuh manusia. Dari Abu Dzar al-Ghifari ra, ia berkata bahwa Nabi saw bersabda; Di setiap sendiri seorang dari kamu terdapat sedekah, setiap tasbih (ucapan subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (ucapan alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (ucapan lailahaillallah) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah dari kemungkaran adalah sedekah. Dan dua rakaat Dhuha diberi pahala" (Dikeluarkan oleh Muslim).

Di dalam Fath al-Bari, Imam Ibnu Hajar berkata; "Salah satu dari faidah shalat Dhuha adalah diberi pahala sedekah bagi seluruh sendi manusia dalam setiap hari. Dan jumlah sendi itu adalah tiga ratus enam puluh sendi" .

Kedua, ghanimah (keuntungan) yang besar.
Dari Abdullah bin `Amr bin `Ash radhiyallahu `anhuma, ia berkata; "Rasulullah saw mengirim sebuah pasukan perang. Nabi saw berkata: "Perolehlah keuntungan (ghanimah) dan cepatlah kembali!. Mereka akhirnya saling berbicara tentang dekatnya tujuan (tempat) perang dan banyaknya ghanimah (keuntungan) yang akan diperoleh dan cepat kembali (karena dekat jaraknya). Lalu Rasulullah saw berkata; "Maukah kalian aku tunjukkan kepada tujuan paling dekat dari mereka (musuh yang akan diperangi), paling banyak ghanimah (keuntungan) nya dan cepat kembalinya? Mereka menjawab; "Ya! Rasul berkata lagi: "Barangsiapa yang berwudhu', kemudian masuk ke dalam masjid untuk melakukan shalat Dhuha, dia lah yang paling dekat tujuanannya (tempat perangnya), lebih banyak ghanimahnya dan lebih cepat kembalinya" (Shahih al-Targhib: 666).

Ketiga, sebuah rumah di dalam surga.
Bagi yang rajin mengerjakan shalat Dhuha, maka ia akan dibangunkan sebuah rumah di dalam surga. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits Nabi saw: "Barangsiapa yang shalat Dhuha sebanyak empat rakaat dan empat rakaat sebelumnya, maka ia akan dibangunkan sebuah rumah di surga" (Shahih al-Jami`: 634).

Keempat, dua rakaat di awal hari, memperoleh ganjaran di sore hari.
Dari Abu Darda' ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw berkata: "Allah ta`ala berkata: "Wahai anak Adam, shalatlah untuk-Ku empat rakaat dari awal hari, maka Aku akan mencukupi kebutuhanmu (ganjaran) pada sore harinya" (Shahih al-Jami`: 4339).

Dalam sebuah riwayat juga disebutkan: "Innallaa `azza wa jalla yaqulu: Yabna adama akfnini awwala al-nahar bi'arba`i raka`at ukfika bihinna akhira yaumika" (Sesungguhnya Allah `Azza Wa Jalla berkata: "Wahai anak Adam, cukuplah bagi-Ku empat rakaat di awal hari, maka aku akan mencukupimu di sore harimu").

(Akfini awwala al-nahar bi'arbai raka`at) arti dari akfini di sini adalah kerjakanlah dan lakukanlah karena Aku. Diungkapkan dengan lafazh seperti itu sebagai bentuk resiprokal (al-musyarakah) dengan perkataan Allah dalam kata ukfika.

(Ukfika akhirahu): maksudnya adalah kecukupan Allah kepada hamba-Nya dengan cara menjaganya dari kejahatan dan memeliharanya dari kejahatan, memberikan rizki-Nya dari arah yang tidak disangka-sangka serta dimudahkan segala urusannya. Menurut ahli ilmu adalah bahwa empat rakaat tersebut adalah rakaat shalat Dhuha.

Kelima, pahala `Umrah.
Dari Abu Umamah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan bersuci untuk melaksanakan shalat wajib, maka pahalanya seperti seorang yang melaksanakan haji. Barangsiapa yang keluar untuk melaksanakan shalat Dhuha, maka pahalanya seperti orang yang melaksanakan `umrah....(Shahih al-Targhib: 673). Dalam sebuah hadits yang lain disebutkan bahwa Nabi saw bersabda: "Barangsiapa yang mengerjakan shalat fajar (shubuh) berjamaah, kemudian ia (setelah usai) duduk mengingat Allah hingga terbit matahari, lalu ia shalat dua rakaat (Dhuha), ia mendapatkan pahala seperti pahala haji dan umrah; sempurna, sempurna, sempurna" (Shahih al-Jami`: 6346).

Demikian sekelumit penjelasan seputar shalat Dhuha dan beberapa keutamaannya. Mudah-mudahan kita bisa melaksanakannya secara perlahan-lahan. Kita sempatkan diri kita untuk menghadap Allah swt. Rasanya tidak akan lama dan tidak akan memakan waktu yang panjang untuk mengerjakannya. Dua rakaat, empat rakaat, enam rakaat, delapan rakaat. Tidak akan lebih dari sepuluh menit, insya Allah. Bagi yang kerja di kantor, kita upayakan sebisa mungkin. Bagi para pengajar, kita upayakan ketika waktu istirahat. Bagi para siswa (pelajar, mahasiswa) kita usahakan ketika waktu istirahat. Insya Allah kita akan mendapat ketenangan batin, kelapangan hidup dan ketentraman jiwa dengan mengingat Allah swt. Ala bidzikrillahi tathma'innu al-qulub! Semoga [].
(Cairo, Saturday, 15 Jan 2005)
Qosim Nursheha Dzulhadi

Penulis adalah Alumnus Pon. Pes Ar-Raudhatul Hasanah-Medan. Mahasiswa Universitas Al-Azhar, Cairo-Mesir, Fakultas Ushuluddin-Jurusan Tafsir.


Awali Kerja Dengan Sholat Dhuha

Tubuh manusia memiliki ratusan tulang yang masing-masing dihubungkan dengan persendian. Jumlah persendian dalam tubuh manusia adalah 360, sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah SAW dan dibenarkan oleh para dokter. Kita tidak bisa membayangkan, bagaimana jika tulang-tulang yang ada dalam tubuh kita tersebut tidak dihubungkan dengan persendian. Atau salah satu persendian tersebut tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Maka, tidak ada yang mengetahui betapa besarnya nikmat ini kecuali orang yang telah kehilangan nikmat tersebut.

Shadaqah tanpa harta
Setiap hari, persendian kita mempunyai kewajiban untuk bershadaqah sebagai realisasi syukur kita kepada Allah, Dzat yang telah menciptakannya. Caranyapun beragam sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah SAW, "Setiap persendian manusia diwajibkan untuk bershadaqah setiap harinya sejak matahari terbit. Memisahkan (menyelesaikan perkara) antara dua orang yang berselisih adalah shadaqah. Menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah shadaqah. Berkata yang baik juga termasuk shadaqah. Begitu pula setiap langkah berjalan untuk menunaikan shalat adalah shadaqah. Serta menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah shadaqah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Begitu berat dan lelahnya kita jika harus nelakukan berbagai amal tersebut setiap harinya. Sehingga para sahabatpun bertanya, "Siapa yang sanggup melakukan, wahai Rasulullah?" Maka beliau menjawab, "Jika ia tidak mampu, maka dua rakaat Dhuha sudah mencukupinya." (HR Ahmad Abu Dawud)

Rasulullah SAW memberikan kemudahan kepada umatnya, bahwa semua shadaqah yang dilakukan oleh anggota badan tersebut dapat diganti dengan dua rakaat shalat Dhuha, karena shalat merupakan amalan semua anggota badan. Jika seseorang mengerjakan shalat, maka setiap anggota badan menjalankan fungsinya masing-masing. Demikian penjelasan yang disebutkan oleh Ibnu Daqiqil 'Ied.

Jumlah raka'at Dhuha minimal adalah 2 raka'at sedangkan maksimalnya adalah 8 raka'at. Dengan menjalankan 2 raka'at Dhuha, kita telah melaksanakan salah satu wasiat Rasulullah SAW. Abu Hurairah berkata, "Kekasihku, Rasulullah SAW berwasiat kepadaku dengan tiga perkara: puasa selama tiga hari setiap bulannya, dua raka'at shalat Dhuha, dan mengerjakan shalat witir sebelum aku tidur." (Muttafaq 'Alaihi)

Keutamaan shalat dhuha
Meskipun bernilai sunnah, shalat ini mengandung banyak fadhilah (keutamaan), namun tidak banyak dari kita yang memperhatikannya. Diantaranya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Darda' ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Allah ta'ala berfirman, "Wahai anak Adam, shalatlah untuk-Ku empat rakaat pada permulaan hari, maka Aku akan mencukupi kebutuhanmu pada sore harinya." (HR. Tarmidzi)

At Thayyibi menerangkan bahwa dengan mengerjakan empat rak'at di pagi hari, Allah akan mencukupi kebutuhan-kebutuhan kita dan menjauhkan kita dari semua yang tidak kita inginkan hingga sore hari. Fadhilah lainnya, orang yang mengerjakannya dimasukkan dalam golongan orang-orang yang kembali kepada Allah. Karena shalat Dhuha adalah shalat awwabin, shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah (bertaubat). Dalam hadits lain Rasulullah SAW menyebutkan bahwa pahala orang yang mengerjakan shalat Dhuha seperti orang yang mengerjakan umrah.

Menjadi kaya dengan shalat dhuha?
Ada diantara kaum muslimin yang begitu bersemangat mengerjakan shalat dhuha. Namun ironisnya ketika mereka melaksanakan shalat wajib, justru malas-malasan dan hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban saja. Shalat subuh dikerjakan jam enam pagi dan salat asar hanya kalau sempat saja. Penyebabnya, ada tujuan lain ketika mereka mengerjakannya yaitu ingin mendapatkan balasan di dunia, biar lancar rezekinya dan menjadi orang yang kaya raya. Sehingga doa-doa yang dipanjatkannyapun hanya dengan kelancaran rizki. Demikian fenomena yang sering kita dapatkan di masyarakat. Dunia, mungkin saja mereka peroleh. Boleh jadi akan semakin lancar rizkinya dan karirnya terus meningkat. Namun apa yang mereka peroleh di akhirat? Qatadah ketika menafsirkan surat Hud: 15-16, ia berkata, "Barang siapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia cari-cari dengan amalan shalehnya, maka Allah akan memberikan kebaikan kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan memperoleh kebaiakn apa-apa sebagai alasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ikhlas dalam beribadah (yang hanya mengharapkan wajah Allah), selain akan mendapatkan balasan di dunia dia juga akan mendapatkan balasannya di akhirat."

Luangkan waktu
Waktu pelaksanaan shalat Dhuha adalah ketika matahari mulai naik sepenggalan, kira-kira seperempat jam setelah matahari terbit hingga waktu zawal (matahari tergelincir). Dan waktu yang paling afdhal adalah ketika matahari mulai panas.

Memang, tidak mudah untuk melaksanakan shalat Dhuha. Karena waktunya bertepatan dengan jam-jam dimulainya aktivitas keseharian, orang sibuk bekerja mencari rezki pada waktu tersebut. Namun, sesempit apapun waktu kita karena aktivitas sehari-hari, jika kita luangkan waktu sejenak untuk mengerjakan shalat Dhuha, Insya Allah tidak akan mengurangi jatah rizki yang telah ditentukan untuk kita. Kalau toh meluangkan waktu pada waktu tersebut tidak memungkinkan pula, karena peraturan perusahaan yang begitu ketat dan mengikat, shalat Dhuha bisa kita kerjakan sebelum masuk jam kerja. Nah, mari awali kerja kita dengan melaksanakan shalat Dhuha.

Disadur dari : Majalah Islam Ar- Risalah Hal. 54 Edisi 96 / Vol. VIII / No.12 Jumadal Akhir - Rajab 1430 H / Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar